Oleh : Muhammad Faiq Fedayeen, Menteri Koordinator bidang Pengembangan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya 2025
PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG –
Demonstrasi di Kota Malang yang berlangsung pada minggu malam (23/03) yang menolak Undang-Undang (UU) TNI berlangsung rusuh, dinilai aktivis, bahwa represifitas aparat kepada demonstran jadi bukti nyata negara tidak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan berubah menjadi mesin kekerasan yang menindas setiap bentuk perlawanan.
Bahwa massa yang turun ke jalan membawa tuntutan yang jelas yakni mencabut UU TNI. Poin-poin kontroversial dalam UU TNI yang disahkan menjadi pemicu aksi demonstrasi.
Pengesahan UU TNI dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan sipil dan membuka celah bagi kembalinya militerisme dalam pemerintahan.
Terutama yang menjadi sorotan protes adalah Pasal 7 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP), Pasal 47 tentang prajurit aktif di instansi sipil, dan Pasal 53 tentang batas usia pensiun sebagai poin-poin krusial.
“Poin-poin tersebut cukup krusial untuk menjadi salah satu poin tuntutan mengingat pada poin pertama ini akan berpotensi pada militerisasi yang berlebih dan mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil”
UU TNI Pasal 47 yang dinilai memberikan peluang bagi penambahan jabatan sipil untuk militer.
“Pada poin kedua terkait adanya penambahan jabatan sipil untuk militer yang tentunya ini juga ada kaitannya dengan posisi mayor Teddy saat ini agar tetap dapat mendapatkan posisinya sebagai Setkab”
Sedangkan di pasal 53 juga berpotensi menurunkan profesionalisme militer akibat penambahan batas usia pensiun. Poin ketiga adalah perihal usia dimana dalam beberapa hal usia sebelum revisi adalah usia yang ideal untuk pensiun.
“Namun, terdapat penambahan yang dikhawatirkan hal tersebut akan menurunkan profesionalisme militernya”
Sangat disayangkan saat para demonstran menolak UU TNI tersebut, mereka bukannya diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasi, mereka justru dihantam dengan kekerasan brutal.
“Aparat yang seharusnya menjaga ketertiban justru melancarkan tindakan represif tanpa ampun. Demonstran tidak hanya dibubarkan, tetapi dipukuli, diseret, dan ditendang secara brutal. Mereka yang jatuh ke tanah tidak dibiarkan bangkit, melainkan terus dihajar hingga tak berdaya”
Ketika kekerasan menjadi alat utama negara untuk membungkam suara rakyat, maka ini bukan lagi demokrasi, melainkan tirani yang nyata. Lebih parahnya lagi, aparat dengan sengaja menghancurkan ponsel demonstran yang merekam kejadian tersebut.
Menurut Faiq ini bukan sekadar pembubaran aksi, tetapi merupakan upaya sistematis menghilangkan barang bukti kejahatan yang mereka lakukan.Karena mereka tahu bahwa rekaman video dan foto adalah ancaman bagi mereka.
“Maka satu-satunya cara untuk menutupi pelanggaran ini adalah dengan menghancurkan bukti fisik yang dimiliki oleh para demonstran”
Brutalitas tak berhenti pada para demonstran, tim medis pun jadi sasaran kekerasan. Aparat juga melakukan tindakan biadab terhadap tim medis dari unsur mahasiswa yang seharusnya berada dalam posisi netral dan tidak boleh diintervensi.
“Alat medis mereka disita, akses bantuan mereka dihalangi, bahkan
salah satu tenaga medis dari unsur mahasiswa tersebut hampir ditampar oleh aparat”
Ini adalah bentuk kebrutalan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga bertentangan dengan prinsip kemanusiaan universal. Bahkan dalam perang sekalipun, tim medis diperlakukan sebagai zona netral yang tidak boleh diserang.
“Dalam Konvensi Jenewa yang mengatur hukum perang, tenaga medis diakui sebagai pihak yang harus dilindungi dan tidak boleh diintervensi dalam kondisi apa pun,”
Bahkan di medan perang, pasukan militer diwajibkan untuk menghormati keberadaan tenaga medis dan membiarkan mereka menjalankan tugas kemanusiaannya.
“Namun, apa yang terjadi di Kota Malang justru menunjukkan bahwa aparat dengan sadar melanggar prinsip-prinsip ini, seolah mereka sedang berperang melawan rakyatnya sendiri”
Puncaknya, salah satu tenaga medis dari unsur mahasiswa tersebut mendapatkan cacian kasar
dan disebut “l*nte” oleh aparat. menurut saya Ini bukan hanya serangan fisik, tetapi juga serangan terhadap martabat manusia.”
Ketika mereka yang bertugas menyelamatkan nyawa justru dihina dan diserang, maka ini adalah bukti bahwa aparat tidak lagi bekerja atas dasar hukum dan moral, melainkan atas dasar kekuasaan yang sewenang-wenang.
“Tindakan represif ini menunjukkan satu hal yang jelas, negara takut terhadap rakyatnya sendiri”
Mereka sadar bahwa semakin banyak rakyat yang sadar akan ketidakadilan, semakin besar perlawanan yang akan muncul. Kekerasan yang mereka lakukan bukanlah tanda kekuatan, tetapi tanda ketakutan mereka terhadap gerakan rakyat yang semakin besar dan sulit dikendalikan.
“Ini bukan lagi soal keamanan atau ketertiban, ini adalah soal bagaimana negara mempertahankan status quo dengan segala cara, termasuk dengan
menindas dan membungkam suara rakyat”
Negara yang dibangun di atas darah dan air mata rakyatnya sendiri tidak
akan bertahan lama. Perjuangan ini belum berakhir, dan rakyat tidak akan diam.
“Jika mereka berpikir bahwa dengan kekerasan mereka bisa membungkam suara rakyat, maka mereka telah
salah besar, Kita belum kalah, Kita masih berjuang dan kita tidak akan menyerah”
Selain itu, Ia membantah pernyataan anggota dewan dan instansi terkait yang menyatakan tidak ada korban dalam aksi tersebut, bahwa ada empat orang yang masuk Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA), dengan satu orang masih dalam perawatan.
“Padahal terdapat 4 orang masuk RSSA dan alhamdulillah 3 orang sudah keluar namun 1 orang masih dalam keadaan rawat inap,saya belum berani untuk menunjukan identitasnya, saya belum berani dalam beberapa hal mas, Karna takut sensitif dan takut ada miskom”
Aksi demonstrasi pada hari Minggu (23/03) yang melibatakan ratusan orang turun kejalan untuk menuntut pembatalan UU TNI dan di lampiaskan ke gedung dewan kemarin merupakan bentuk kekecewaan massa terhadap wakil rakyat yang di nilai tidak mamou menangkap aspirasi rakyat.
Penulis : Redaksi
Editor : Gus