Kenali Calon Pemimpinmu, Pilkada Dalam Teori Keadilan dan Sistem Kasta

- Redaksi

Jumat, 28 Juni 2024 - 12:58 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Lanskap identitas pilkada kali ini cukup menggelitik kuriositas kita sebagai pemilih. Dari sekian banyak nama dan gambar bakal calon yang terpampang di ruang publik yang kini telah menjadi polusi ekologi kota, tak satu pun yang dapat memberi kita petunjuk—siapa akan berhadapan dengan siapa.

Nuansa senyap sekaligus menegangkan ini, patut dicurigai bahwa perebutan kursi kepala daerah adalah diagram vena atau episode lanjutan dari kontestasi pilpres kemarin.

Karena jika dianalogikan tubuh seorang raja, sebuah mahkota yang tersemat di kepala raja hanya akan memiliki arti jika kepala itu masih terhubung dengan tubuh, tangan dan kakinya.

Jika premis tersebut bisa kita terima, maka anteseden politik nasional bisa dijadikan landasan pemikiran untuk memprediksi keadaan yang akan terjadi nanti.

Maju satu langkah ke depan, menilik ruang demi ruang di dalam masing-masing kamar partai, nuansa senyap yang dirasakan masyarakat saat ini tentu tidak sama dengan dinamika yang berlangsung di internal partai.

Antagonisme politik, lobi-lobi nir-agenda ideologis, praktik patronase, kilentalisme dan segala jenis dosa besar dengan status najis mughalladzah yang mengharuskan mereka melakukan “mandi wajib nasional” akan berkumpul.

Dalam peristiwa tersebut, karena yang kemarin kalah pasti tidak ingin merasakan kekalahan lagi sedangkan yang menang akan mempertahankan posisinya agar tetap di atas.

Meskipun demikian, nuansa senyap ini memberi sedikit keuntungan di pihak masyarakat untuk melakukan refleksi memikirkan klasifikasi sosok pemimpin yang akan diberi mandat untuk menentukan nasib mereka lima tahun ke depan.

Oleh sebab itu, mari saya ajak anda menemui Plato melalui Teori Keadilan miliknya dengan dalil yang berbunyi: the supreme virtue of the good state (kebajikan tertinggi dari negara yang baik) dan the self disciplined man whose passion are controlled by reason (seseorang yang memiliki kedisiplinan diri adalah ia yang nafsunya dikendalikan oleh akal).

Baca Juga :  Angkat Isu Korupsi dan Ketidakadilan, Teater Hitam Putih FEB UM sajikan Drama berjudul “Tangis”

Kedua dalil di atas sejatinya masih bisa dirumuskan dalam satu baris kalimat: keadilan (dikaionyse) adalah ketika keutamaan (virtus) bertemu dengan kedudukan (actus).

Dalam bahasa yang lebih sederhna, keadilan baru bisa tercapai ketika kursi kekuasaan diberikan kepada mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan.

Karena bagi masyarakat Yunani pemegang kursi kekuasaan adalah kumpulan dari virtus terbaik, manusia utama di antara masyarakat yang lain yang mereka sebut sebagai The Philosopher King atau raja yang berwatak seorang filsuf atau filsuf yang berwatak seorang raja.

Tentu klasifikasi tersebut susah ditemukan jika tidak memiliki alat ukurnya. Alat ukur yang dimaksud, menurut saya menjadi mudah diidentifikasi melalui sistem kasta-kasta.

Kasta yang pertama adalah Brahmana, predikat untuk mereka yang menekuni profesi kependetaan.

Berikutnya adalah Ksatria, para abdi negara yang secara genealogis mewarisi trah seorang raja, Lalu Weisya, kelompok para pedagang dan pengusaha, terakhir adalah Sudra, disandang oleh para buruh atau petani.

Tapi, di dalam kitab Weda sendiri istilah kasta tidak pernah dikenal. Untuk diketahui bersama, kitab Weda terdiri dari empat bagian: Regweda, berisi syair puji-pujian terhadap dewa. Yajurweda, berisi kumpulan doa untuk pengantar sesaji. Samaweda, berisi syair dan nyanyian untuk upacara. Dan Arthaenaweda, berisi mantra-mantra yang mengandung kekuatan supranatural.

Jadi, apa yang dipahami secara umum sebagai kasta hari ini terdapat di dalam Regweda yang disebut sebagai varnas (Sansekerta) yang artinya adalah warna atau color (Inggris). Di dalam Bhagavatgita (bagian dari Mahabarata) disebut sebagai catur warna, suatu pembagian masyarakat menurut swadharma atau profesi atau wilayah kerja masing-masing.

Sedangkan di dalam masyarakat India sendiri dikenal dengan nama Wangsa, sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan.

Baca Juga :  Red Valley Tunjukkan Kelasnya di MCC Melalui Lagu Marah Hingga Merah

Menurut pendapat Julian Pitt-Rivers, seorang antropolog asal Inggris di dalam esainya yang berjudul On The Word “Caste”, kata kasta berasal dari bahasa Spanyol dan Portugis (di mana kedua negara tersebut memiliki akar bahasa yang sama, yakni Latin, seperti Indonesia dan Malaysia yang sama-sama berakar dari bahasa Melayu).

Hingga tiba pada akhir abad ke-15 ketika Spanyol mengirim pelautnya untuk berlayar menemukan tanah baru, kata kasta yang mereka gunakan masih merujuk pada arti silsilah.

Sedangkan oleh Portugis, ketika mereka sampai di India pada tahun 1498, kata kasta diterapkan dalam makna modern hari ini yang kemudian dicatat oleh Dictionary of American-English (1613) dengan definisi caste is a group resulting from division of society based on class differences of wealth, rank, right, proffesion, or job di mana konsep kata tersebut telah menjauhi konteks yang dimaksud oleh negara asalnya yakni India.

Pararel dengan pernyataan di atas, menurut Louis Dumont di dalam bukunya yang berjudul Homo Hierarchicus: The Caste System and Its Implication, varnas secara kontekstual diartikan sebagai warna, penampilan luar, ras, suku spesies, jenis, sifat, karakter, dan kualitas

Dimana hierarki yang dimaksud tidak berhubungan dengan sesuatu yang bersifat ekonomi atau materialistik melainkan religiusitas.

Maka dalam pengertian saya, kasta menurut Louis Dumon adalah tingkatan kualitas pada diri seseorang atau keadaan batin seseorang yang cocok menempati posisi tertentu di dalam sosial kemasyarakatan.

Misalnya, seseorang yang tingkat kebatinannya masih berada di level Sudra tidak boleh menempati jabatan publik karena akan mengacaukan tatanan sosial.

“Sudra ditempatkan sebagai kasta terendah karena secara psikologis masih memiliki sifat selfish atau jenis manusia yang masih memikirkan dirinya sendiri”

Baca Juga :  Berselimut Sholawat, Pondok ODGJ Situbondo Gelar Halal Bihalal Beratapkan Langit

Orang-orang yang tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk memikirkan nasib orang lain—jika diberi amanah untuk menduduki jabatan publik—pasti akan korupsi karena demikianlah keadaan batinnya.

Dia tidak akan peduli dengan nasib rakyat, maka kesempatan yang ia miliki pasti akan digunakan untuk memperkaya dirinya sendiri.

“Pun dengan Weisya, kasta yang memiliki jiwa dagang ini di dalam hati dan pikirannya hanya ada kalkulasi yang sifatnya untung dan rugi”

Berada satu tingkat di atas Sudra, kasta Weisya memang sudah bisa memikirkan orang lain tapi hanya terbatas pada keluarga dan kerabatnya saja. Maka kolusi dan nepotisme dilahirkan dari jiwa-jiwa yang berpikir hanya untung-rugi ini. Atau, jenis orang yang—jika telah mengeluarkan sesuatu untuk mencapai posisi tertentu—sebisa mungkin melakukan upaya agar balik modal Naudzubillah min dzalik.

Semoga pada di pilkada kali ini kita dijauhkan dari pemimpin semacam itu, karena yang kita butuhkan hari ini, minimal, adalah mereka yang kebatinannya sudah berada di tingkat ksatria.

Syukur-syukur jika dia (calon pemimpin) adalah gabungan watak brahmana dan ksatria sebagaimana yang disebut oleh masyarakat Yunani sebagai The Philosopher King.

Artikel ini : Fajar SH Inisiator Kamisan Dialogika Kota Malang

Penulis : Redaksi

Sumber Berita : Redaksi

Berita Terkait

Jejak Panjang Uang, Antara Berkah dan Belenggu Peradaban
Eksklusif! Pengalaman Mudik ke Luar Angkasa Ternyata Ada di Planet Dampit!
Perspektif Mahasiswa: Tindakan Represif Aparat Menangani Demonstrasi di Malang Dalam Ruang Demokrasi
KEJAHATAN SKIMMING: ANCAMAN DOMPET DIGITAL
Tantangan Etika Bisnis di Industri E-commerce: Antara Keuntungan dan Tanggung Jawab Sosial
Red Valley Tunjukkan Kelasnya di MCC Melalui Lagu Marah Hingga Merah
Angkat Isu Korupsi dan Ketidakadilan, Teater Hitam Putih FEB UM sajikan Drama berjudul “Tangis”
Melodi Penuh Kesedihan : Eastcape di Dalbo Fest 2024

Berita Terkait

Selasa, 17 Juni 2025 - 14:43 WIB

Djoko Prihatin, Sang Penggerak GoodDrop, Ubah Limbah Jadi Berkah di Malang

Jumat, 13 Juni 2025 - 18:37 WIB

Hari Bhayangkara ke-79: Polresta Malang Kota Manjakan Ratusan Driver Ojol dengan Cek Kesehatan Gratis!

Jumat, 13 Juni 2025 - 17:29 WIB

Tanpa Sesal: Bos Amul Massage Kembalikan Ijazah yang Ditahan, Santai Bilang “Kesalahpahaman” Saja

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:44 WIB

Terapis Amul Massage Ngadu ke DPRD Untuk Tebus Ijazah Harus Bayar 45 Juta?

Rabu, 11 Juni 2025 - 10:45 WIB

Waduh! Amul Massage Syariah Dilaporkan ke Polisi atas Dugaan Penggelapan Ijazah

Rabu, 11 Juni 2025 - 08:02 WIB

Todongkan Belati ke Driver Ojol, Pelaku Curat di Malang Dibekuk Polisi

Jumat, 6 Juni 2025 - 13:41 WIB

Peringati Idul Adha dan Hari Lahir Bung Karno, DPC PDI-P Kota Malang Usung Semangat Gotong Royong

Kamis, 5 Juni 2025 - 23:01 WIB

BREAKING NEWS: Dokter AY Resmi Jadi Tersangka Kasus Kekerasan Seksual di Malang

Berita Terbaru