PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Warga RW 10 Kelurahan Blimbing, Kota Malang, menolak keras rencana pembangunan hotel dan apartemen oleh pengembang Tanrise. Penolakan ini bukan karena anti-pembangunan, melainkan karena proses perizinan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dinilai tidak melibatkan partisipasi warga sejak awal.
Dalam pertemuan yang digelar Balai RW, tak satupun perangkat RW 10 yang hadir dan menjadi tanda tanya besar warga yang merasa ditumbalkan. Dalam diskusi tersebut hanya ada perwakilan warga yang tergabung dalam Warpel (Warga Peduli Lingkungan) dan puluhan mahasiswa dari Lembaga Yustisi Mahasiswa Islam (LYMI) FH UB dan Formah Hukum Peduli Keadilan FH UB, serta Lembaga Pers UB.

Yusuf yang merupakan ahli konstruksi, memaparkan secara rinci potensi dampak negatif yang akan timbul dari proyek tersebut. Ia menjelaskan bahwa dampak pembangunan terbagi menjadi tiga fase: pra-pembangunan, saat pembangunan, dan pasca-pembangunan.
Menurutnya, pemerintah harus mencari solusi yang lebih bijak bagi semua pihak sehingga hak-hak warga terdampak terjamin dan terlindungi baik sebelum, saat dan sesudah pembangunan 2 Apartemen dan Hotel tersebut.
Pemaparan tersebut didukung oleh Centya, yang menyoroti prinsip Warpel untuk tidak anti-investasi, asalkan pembangunan dilakukan sesuai aturan dan tidak mengabaikan hak-hak warga terdampak.
Ia juga mendesak agar tidak ada intimidasi dan menuntut kehadiran Pemerintah Kota Malang dalam menjamin hak-hak warga secara hukum.
“Jangan hanya fokus dapatkan nilai investasi Rp 900 miliar, tetapi abai dan atau jadikan warga sebagai tumbal investasi,” tegas Centya pada pada Selasa (26/8/2025).
Gerakan penolakan Warpel ini semakin solid dengan dukungan dari berbagai pihak baik dari civitas akademika maupun dari mahasiswa, termasuk dari Lembaga Yustisi Mahasiswa Islam (LYMI) FH UB dan Formah Hukum Peduli Keadilan FH UB, serta Lembaga Pers UB.
Dalam diskusi tersebut, Mereka berencana mengajukan gugatan class action untuk mendampingi perjuangan warga terdampak.

Selain itu Warpel sebelumnya juga telah melayangkan surat pengaduan ke berbagai lembaga tinggi negara seperti Ombudsman RI, Komnas HAM RI, LPSK RI, Kejagung RI, BPK RI, Kejati, dan Kementerian Lingkungan Hidup.
“Respons dari lembaga-lembaga tersebut telah diterima dan menjadi bekal bagi perjuangan kami,” ungkap Centya.
Salah satu warga lain juga menyatakan jika warga bukan anti-pembangunan, tapi mereka menolak pembangunan yang tidak transparan dan berpotensi merugikan.
“Warga menuntut jaminan dan kepastian hukum serta mendesak Pemerintah Kota Malang untuk melindungi hak-hak mereka,” pungkasnya.
Penulis : Gus
Editor : Redaksi










