PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Di tengah hingar bingar rencana pembangunan hotel dan apartemen megah setinggi 197 meter di Kota Malang, suara dari akar rumput mulai meninggi. Bambang GW, tokoh dari Dewan Kampung Nuswantara, dengan lantang mempertanyakan narasi “kemajuan” yang selama ini digaungkan. Minggu (25/05/2025).
Baginya, gemerlap investasi tak ada artinya jika mengorbankan hak dan kesejahteraan masyarakat kampung. Sorotan tajam pun diarahkan pada kemunculan organisasi masyarakat tertentu yang dinilai lebih pro-investor, serta kejanggalan proses yang terkesan mengabaikan suara warga terdampak.
Apakah pembangunan ini benar-benar untuk kemaslahatan rakyat, atau sekadar ambisi segelintir pihak di balik diksi “kemajuan”?
Keraguan dan pertanyaan mendasar dilontarkan Bambang GW dalam wawancaranya dengan Pendoposatu.id (22/05). Bukan hanya soal potensi tergusurnya ruang hidup dan mata pencaharian warga lokal, tetapi juga tentang definisi “kemajuan” itu sendiri.
Kemajuan itu kan tidak sekedar hanya dilihat dari sebuah investasi bangunan fisik tapi kemajuan itu sekali lagi pada nilai.
“Apakah proses pembangunan selama ini meningkatkan nilai daya hidup masyarakat, Meningkatkan nilai daya beli masyarakat, Meningkatkan nilai kecerdasan masyarakat?” tanyanya retoris.
Sorotan tajam juga diarahkan pada salah satu media cetak yang memplintir pernyataan Ketua Persatuan Tionghoa (PSMTI) Kota Malang dengan framing dalam konteks dukungan terhadap investasi ini.
“Kok muncul framing dukung mendukung oleh PSMTI dalam konteks semacam ini? ini menimbulkan dugaan bagi kami ada sesuatu yang sudah dikomunikasikan dan disetting agar investasi itu berjalan,” ungkap Bambang.
Lebih lanjut, Dewan Kampung Nuswantara menyoroti minimnya pelibatan masyarakat kampung dalam dialog awal.
“Kenapa investor tidak mau ketemu langsung dengan masyarakat? Kalau niatnya mereka baik untuk kepentingan masyarakat, apa sulitnya datang berdialog, ketemu langsung, tidak perlu melalui perwakilan pemerintahan apapun,” tegasnya.
Keengganan investor untuk berinteraksi langsung ini justru menimbulkan kecurigaan di benak warga.
Tak hanya itu, Bambang juga mengkritik dugaan keterlibatan pemerintah kota yang dinilai lebih berpihak pada investor, bahkan menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan sosialisasi proyek.
Inkonsistensi informasi terkait ketinggian bangunan antar dinas terkait juga menambah kabut ketidakjelasan dalam proses ini.
Bagi masyarakat kampung, kata Bambang, yang utama bukanlah seberapa tinggi gedung akan berdiri, melainkan dampaknya bagi kehidupan mereka.
“Orang kampung tidak mau tahu, tingginya seberapa tidak mau tahu yang dimaui oleh masyarakat kampung adalah Pembangunan ini tidak usah. Bermanfaat untuk siapa, lalu berisiko kepada siapa. Hanya itu,” ujarnya tandasnya.
Gelombang penolakan dan pertanyaan kritis dari masyarakat kampung ini menjadi alarm bagi pemerintah kota dan para pemangku kepentingan.
“Tolong dong sadar Bela rakyatmu,” pesan Bambang.
Pertanyaan mendasar tentang “kemajuan” yang sesungguhnya, keberpihakan, dan transparansi dalam proses investasi ini menjadi isu seksi yang tak bisa lagi diabaikan.
Akankah suara akar rumput ini didengar, ataukah gemerlap gedung pencakar langit akan terus mengaburkan keadilan bagi warganya?
Penulis : Gus
Editor : Redaksi