PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Warga Peduli Lingkungan (WARPEL) laporkan dugaan adanya praktik gratifikasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis, serta maladministrasi serius terkait rencana pembangunan hotel dan apartemen setinggi 197 meter oleh PT Tanrise ke Lembaga Penegak Hukum Republik Indonesia.
Dalam rapat yang di gelar di posko Candi Kalasan III/18 WARPEL dan Dewan Kampung Nuswantara (DKN) menuding proyek ini bukan sekadar sengketa lahan biasa, melainkan pertarungan krusial antara kekuatan modal dan hak asasi manusia.
Pemerintah daerah dituding telah abai dan gagal melindungi hak-hak warganya. Dimana kasus ini membawa implikasi hukum dan lingkungan yang luas bagi Kota Malang.
Ketua WARPEL, Centya kepada awak mendia yang hadir mengungkapkan bahwa pihaknya telah melayangkan laporan terkait adanya dugaan gratifikasi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang, maladministrasi, serta pembohongan publik.
“Kalau laporan-laporannya itu ke Ombudsman, Kejagung, KPK, BPK, PPATK, Komnas HAM, dan LPSK dengan tembusannya ke Kajati, Kajari, dan Ombudsman Jawa Timur,” jelas Centya.
Centya menyatakan bahwa laporan yang dikirimkan langsung dan melalui surat tersebut merupakan upaya WARPEL untuk mencegah potensi tindak pidana pencucian uang dan suap, serta menjaga integritas pemerintahan Kota Malang.
“Yang dilaporkan terkait dugaan Gratifikasi, yang pasti untuk menghindari dugaan tindak pidana pencucian uang, dugaan suap, untuk menjaga integritas dan transparasi dalam pemerintahan kota Malang,” tandasnya.

“Ini kan rangkaian dari awal rencana pembangunan, kami ketahui ini bagian dari kronologis, yang mengindikasikan bahwa dugaan pelanggaran yang dilakuan melibatkan berbagai tingkatan pemangku jabatan, dari RT, RW, hingga pejabat tinggi,” tambahnya.
Salah satu poin yang disoroti adalah penggunaan fasilitas milik pemerintah, yaitu lantai 2 Kecamatan Blimbing, untuk acara konsultasi publik AMDAL pada 11 Maret, yang dinilai sebagai potensi penyalahgunaan wewenang.
WARPEL menegaskan bahwa penolakan warga didasarkan pada penegakan hak-hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 Pasal 28H, terkait hak atas tempat tinggal dan lingkungan bersih.
“Dari awal kami menolak, karena tidak harus menuntut pun hak-hak warga ini sudah dijamin oleh undang-undang dan hukum terutama itu adalah pembangunan, Pastikan jangan sampai melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H,”
Centya mengatakan UUD 1945 pasal 28H menjamin hak-hak setiap warga negara tidak boleh kehilangan untuk mendapatkan tempat tinggal, lingkungan yang bersih dan tidak ada pencerabutan tempat tinggal yang dilakukan dengan secara sewenang-wenang.
“Landasan kami adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan undang-undang dari segala sumber hukum,” tandasnya.
Selain itu, Undang-Undang Jasa Konstruksi (kini UU Cipta Kerja), Undang-Undang Kompensasi Dampak Konstruksi, dan PP Nomor 22 juga dinilai relevan dalam menjamin hak-hak warga.
Ketua Warpel tersebut juga menyampaikan hasil kunjungan WARPEL ke Jalan Panduk Panjang Jiwo, Surabaya, beberapa waktu yang lalu juga dan melihat pola serupa.
“Warga di sana menceritakan pengalaman pahit sebelum dan sesudah pembangunan apartemen Tanrise yang hanya berjarak 2 meter dari hunian mereka, disertai perjanjian kompensasi yang bermasalah,” ungkapnya.
Pedih dan perih, kata Centya, menggambarkan kondisi warga di Surabaya yang merasa “terjebak” dalam sistem tersebut. WARPEL mencatat adanya kemiripan pola ini dengan rencana pembangunan di Malang.
“Saya kalau melihat dari proses awal informasi proses awal dibentuk tim tujuh, menyebutkan akan nanti ring satu, ring dua, ring tiga bahkan ada kata-kata ada kompensasi, polanya sama,” paparnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kejelasan perizinan, seperti AMDAL Lalin, AMDAL Lingkungan, dan AMDAL Air, apakah sudah benar-benar selesai.
Warga melalui WARPEL mendesak Lembaga Penegak Hukum untuk mengusut tuntas terkait surat laporan bernomor 007/Warpel/VI/2025.
Mereka menuntut kejelasan hukum dan keadilan, agar tidak ada lagi warga yang merasa menjadi “tumbal investasi” dalam proses yang dinilai bermasalah ini.
Sementara itu, Ketua Dewan Kampung Nuswantara, Bambang GW, menegaskan dukungan penuh terhadap warga.

“Persoalan masyarakat RW 10 sekarang sudah menjadi persoalannya Dewan Kampung Nusantara,” ujarnya, menyatakan komitmen untuk mendampingi warga hingga pembangunan apartemen dibatalkan.
Bambang menyoroti “sisi gelap” yang memerlukan pengungkapan publik, khususnya terkait status tanah. Hasil penelusuran mereka menemukan bahwa tanah tersebut adalah eigendom, yang merujuk pada tanah negara.
“Pertanyaannya, benarkah negara sudah menerima ganti rugi atas tanah itu? Nah, kalau itu belum dan tiba-tiba muncul status tanah milik perusahaan ataupun milik orang, ini kan kita persoalkan,” kata Bambang, mengisyaratkan dugaan potensi ketidakberesan dalam alih kepemilikan.
Reputasi Tanrise juga menjadi perhatian. Bambang menyatakan bahwa “reputasi Tanrise ini tidak baik-baik saja,” merujuk pada temuan dari studi banding warga ke Surabaya mengenai dampak negatif pembangunan.
Ia juga mengkritik narasi bahwa investasi selalu membawa kesejahteraan, mengingat “seringkali kampung itu menjadi korban”.
Lebih lanjut, Bambang menyayangkan sikap pemerintah kota yang dinilai “buta” karena membiarkan pekerjaan proyek terus berjalan meski ada penolakan warga.
“Pemerintah kok membutakan matanya, melihat rakyatnya memberikan aduan, tidak sepakat dan sebagainya, tetapi proses itu berjalan.”
Klaim bahwa izin sudah di pemerintah pusat juga dianggap Bambang sebagai “pelemparan tanggung jawab”, dengan alasan bahwa ini merupakan tanggung jawab pemerintah kota.
Dampak lingkungan yang mungkin timbul juga menjadi kekhawatiran serius. Bambang GW memperingatkan potensi peningkatan banjir di Malang jika pembangunan gedung setinggi 197 meter ini dipaksakan.
“Banyak titik-titik yang punya potensi melakukan resapan air hilang di Malang. Dan potensi banjir sampai hari ini menjadi persoalan tersendiri. Apakah masih mau ditambah lagi?” tuturnya.
Terakhir, Bambang menyoroti kesiapan Pemerintah Kota Malang dalam menghadapi potensi bencana semisal terjadi kebakaran gedung setinggi itu sangat tidak siap.
“Perangkat untuk pengamanan di ketinggian gedung setinggi itu Malang kota enggak punya. Salah satunya tadi ya tentang alat pemadam kebakarannya. Pemerintah kota enggak punya mobil yang menjangkau di ketinggian 197 meter.” bebernya.
“Jika terjadi musibah kebakaran di ketinggian tersebut, saya mempertanyakan, siapa yang bertanggung jawab?” pungkasnya.
Penulis : Gus
Editor : Redaksi