PENDOPOSATU.ID, MALANG – Wajah toleransi Indonesia kembali tercoreng, ini peristiwa kekerasan brutal yang menimpa umat kristiani saat menggelar kegiatan retret di sebuah vila di Sukabumi menambah panjang daftar kelam intoleransi di negeri ini. Bagi banyak pihak, insiden semacam ini bukan lagi kejutan, melainkan sebuah pola yang terus berulang dan mudah diprediksi. Senin (07/07/2025)
Seperti yang diungkapkan oleh Bambang GW, Presidium Dewan Kampung Nuswantara, bahwa alasan pembenaran di balik tindakan kekerasan oleh mayoritas ini selalu sama.
Celoteh tentang perizinan, bukan tempat ibadah, membuat bising, mengusik kenyamanan warga, dan seterusnya. Dalih-dalih ini, menurut Bambang, sudah cukup untuk menduga akan terjadinya aksi kekerasan.
Hal yang lebih miris adalah respons negara yang terkesan tunduk dan kompromis terhadap nafsu brutal kelompok mayoritas.
Alih-alih melindungi korban, negara justru memberi tekanan pada mereka yang menjadi korban kebrutalan, mencari-cari alasan dan menyematkan diksi “seandainya” atau “seharusnya” kepada kaum minoritas.
Bambang menegasakan, ketika negara ajeg bersikap lunak bahkan terkesan melakukan pembiaran kebrutalan tersaji di depan matanya, karena dari berbagai peristiwa serupa selalu terekam keberadaan aparat negara apalagi mereka punya bekal kemampuan intelijen yang terlatih.
“Jadi sangat ironis bila peristiwa yang berulang terjadi tanpa pernah ditiadakan, maka tirani mayoritas akan semakin terbuka memerankan aksinya,” tegasnya.
Istilah-istilah indah seperti toleransi, tenggang rasa, dan saling menghormati kini hanya menjadi pilihan kata yang meninabobokan wajah kebangsaan kita.
“Ironisnya, kata-kata tersebut selalu menjadi menu pidato para pejabat, tokoh masyarakat, petinggi aparat keamanan, agamawan, bahkan budayawan, namun gagal mewujud dalam penjagaan ruang keberagaman ibu pertiwi,” bebernya.
Fakta-fakta peristiwa yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan ini, menurut Bambang GW, telah menjadi indikator darurat keringnya spiritualitas di jiwa bangsa ini.
Pertanyaan besar pun mengemuka, haruskah peristiwa serupa terus menghiasi panggung publik yang tak henti meneriakkan Pancasila?
Apa relevansi banyaknya rumah ibadah dan ceramah keagamaan dengan lahirnya rasa bijak dalam pergaulan sosial?
“Berbagai pertanyaan tersebut sudah semestinya mengusik rasa kebangsaan kita atas tragedi kemanusiaan yang berulang terjadi,” tandasnya.
Bagaimana output pendidikan kita yang mengharuskan agama menjadi mata pelajaran utama di setiap jenjang pendidikan di negeri ini?
“Apakah semua ini menandakan bahwa bangsa ini memang telah mengalami erosi spiritualitas yang membumi?,” ujarnya.
Menurutnya diperlukan tindakan nyata dan komitmen kuat dari semua pihak, terutama negara, untuk memastikan bahwa keadilan dan kemanusiaan tidak lagi tunduk pada intimidasi kelompok mayoritas.
“Peristiwa di Sukabumi adalah pengingat keras bahwa retorika semata tidak akan cukup untuk membendung gelombang intoleransi,” pungkasnya.
Penulis : Redaksi
Editor : Gus