PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Sorotan utama kini tertuju pada fenomena bullying di lingkungan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam diskusi “Alumni Back to School” yang diinisiasi SMP Shalahuddin Official pada Senin (26/05/2025), isu krusial ini dibedah dari perspektif hukum pidana oleh Bima Rendi Suharya, S.H., dan Muhammad Aziz Fauzi, S.H., CPLA.
Anak SMP Bisa Dipidana? Ini kata praktisi Hukum Bima Rendi Suharta, S.H., dengan tegas menyatakan bahwa pelajar usia remaja memiliki potensi pertanggungjawaban pidana.
“Usia 18 tahun itu sudah dianggap cakap hukum. Namun, anak di bawah usia tersebut pun dapat berkonflik dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi,” ungkap Bima, merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Alumni SMP Shalahuddin yang kini berprofesi di bidang hukum ini menjelaskan perbedaan antara kenakalan biasa dan bullying.
“Kenakalan seperti bolos atau saling olok yang tidak menyakiti masih dalam batas wajar. Berbeda dengan bullying yang biasanya terorganisir dan dapat menyebabkan gangguan psikologis parah, bahkan depresi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bima menekankan bahwa dampak bullying terhadap korban tidak hanya fisik, tetapi juga merusak mental, yang berpotensi membuat korban enggan bersekolah hingga berujung pada tragedi bunuh diri.
Mengenai pasal pidana yang relevan, Bima menyoroti potensi jeratan KUHP. “Bullying ini kan kita tidak tahu ya, bagaimana ‘bercanda’-nya remaja sekarang.
Pukul-pukulan saja itu sudah masuk kategori penganiayaan,” jelasnya, sambil mencontohkan kasus ‘preman sekolah’ yang melakukan pemalakan dan pemukulan terhadap siswa lain.
Bima menekankan pentingnya kesadaran siswa SMP akan adanya pertanggungjawaban pidana di usia mereka.
“Jangan sampai menormalisasi kekerasan sekecil apapun,” pesannya.
Senada dengan Bima, Muhammad Aziz Fauzi, S.H., CPLA., menilai bahwa hukum pidana di Indonesia, khususnya untuk anak, lebih berfokus pada rehabilitasi dan retribusi, bukan pada pencegahan. “Untuk pencegahan, itu ranahnya Kemendikbud,” ujarnya.
Aziz mengapresiasi langkah Kemendikbud dengan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang TPPK (Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan) di sekolah.
Namun, ia menyoroti perlunya penguatan struktur dan tata kelola TPPK, termasuk pengawasan oleh dinas pendidikan setempat.
Lalu, bagaimana tanggung jawab sekolah dan orang tua? Aziz kembali menekankan peran TPPK untuk pencegahan, sementara hukum pidana hadir untuk menghukum pelaku dan memulihkan korban.
“Kerja sama antara sekolah, keluarga, dan penegak hukum menjadi kunci utamanya,” bebernya.
Aziz menyambut baik Permendikbud sebagai respons terhadap isu kekerasan di sekolah dan berharap implementasinya terus diawasi serta dievaluasi.
Kabar baiknya, prinsip keadilan restoratif dinilai sangat mungkin diterapkan dalam kasus bullying di SMP, asalkan ancaman pidananya tidak melebihi batas yang ditentukan oleh undang-undang sistem peradilan pidana anak.
“Ini membuka peluang penyelesaian di luar jalur hukum formal melalui diversi,” tandasnya.
“Jadi, jangan tutup mata. Kepada orang tua, sering-seringlah mencari informasi dan literatur terkait pemilihan lembaga pendidikan yang aman dan sesuai untuk anak,” pungkasnya.
Kesadaran orang tua diharapkan menjadi filter alami bagi sekolah-sekolah yang belum memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan siswa dari kekerasan.
Penulis : Gus
Editor : Redaksi