PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Beberapa waktu yang lalu disalah satu media massa, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) yang merupakan representasi sebagian komunitas Tionghoa di Kota Malang menyuarakan dukungan penuh terhadap pembangunan mega proyek Apartemen dan Vasa Hotel setinggi 197 meter.
Ha itulah yang justru memantik beragam reaksi jika tidak segera disikapi secara bijak bisa memicu potensi konflik horisontal, Rabu (21/05/2025).
Gerah dengan penyebutan Paguyupan Etnis dalam politik indentitas, jurnalis dan aktivis 98 akhirnya angkat suara.
Roni Agustinus mengingatkan secara tegas untuk tidak melibatkan politik indentitas dalam investasi hotel dan apartemen di Blimbing Kota Malang.
“Jangan libatkan politik indentitas dalam dukung mendukung investasi di Blimbing. Ini sangat rawan dan berpotensi memicu konflik horisontal yang lebih luas,” ujarnya kepada Pendoposatu.id saat di temui di rumah warga Blimbing.
Pria yang juga aktif memberikan advokasi kepada masyarakat yang termarjinalkan ini, juga mengingatkan agar semua pihak menahan diri dan bijaksana dalam berstatemen.
“Ingat Bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam akibat politik identitas yang memicu konflik berdarah-darah. Jadi jangan lupakan sejarah kelam bangsa ini,” seru Roni.
Penting untuk diingat bahwa pembangunan kota yang lestari dan berkeadilan harus mempertimbangkan aspirasi seluruh elemen masyarakat Malang, melampaui kepentingan kelompok tertentu.
“Klaim kemajuan kota melalui hotel berbintang perlu ditimbang secara saksama, melihat potensi gesekan sosial dan hilangnya kearifan lokal yang mungkin menyertai pembangunan yang masif,” bebernya.
Ia juga mengatakan narasi tentang keuntungan investasi dan penyerapan tenaga kerja bagi warga sekitar perlu dikaji lebih mendalam.
“Pengalaman menunjukkan bahwa seringkali, manfaat ekonomi dari proyek besar tidak selalu terdistribusi secara merata, dan justru dapat meminggirkan usaha kecil dan nilai-nilai gotong royong yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Malang yang beragam,” jelasnya.
Keberatan masyarakat terkait ketinggian bangunan bukan sekadar soal pandangan mata, namun menyentuh aspek ruang hidup dan warisan budaya Kota Malang
“Ingat Kota Malang memiliki kekhasan arsitektur dan tata ruang yang perlu dipertahankan, dan pembangunan yang tidak memperhatikan hal ini dapat menggerus identitas kota yang telah terbentuk sejak lama,” terangnya.
Saran untuk berdialog memang baik, namun semangat “kekeluargaan” yang seringkali dijunjung tinggi dalam budaya Indonesia, termasuk dalam interaksi antar etnis, harus tercermin dalam proses yang lebih inklusif.
“Mendengarkan keluhan warga bukan hanya formalitas, tetapi membutuhkan empati dan kesediaan untuk menyesuaikan rencana pembangunan demi harmoni sosial,” tandasnya.
Menurutnya sebagai bagian dari masyarakat Kota Malang, komunitas Tionghoa tentu memiliki kepedulian terhadap kemajuan kota. Namun, kemajuan sejati adalah ketika pembangunan berjalan dan selaras dengan kepentingan seluruh warga.
“Diantaranya menghargai kearifan lokal, dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan tatanan sosial yang sudah ada,” paparnya.
Selain itu, dukungan terhadap investasi sebaiknya diimbangi dengan kepekaan terhadap nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Malang secara keseluruhan.
Oleh karena itu, alih-alih dukungan tunggal dari satu organisasi, idealnya adalah munculnya musyawarah yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, budayawan, perwakilan warga, dan pemerintah Kota Malang.
“Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang “memayu hayuning bawana (memperindah keindahan dunia) yang hanya bisa tercapai jika semua suara didengar dan dipertimbangkan dengan seksama,” tutupnya.
Penulis : Gus
Editor : Redaksi