PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Topeng Malang yang berkembang di Malang Raya berangsur mulai dilupakan. Tak banyak sanggar maupun seniman yang menampilkan seni pertunjukan topeng lengkap dengan dalang, sinden dan propertinya.
Berkaca dari hal tersebut, seniman Malang membuat film dokumenter untuk menggambarkan tentang ragam gerak dalam seni Topeng Malang tersebut.
Yosoft sang produser menyampaikan bahwa melalui film dokumenter Topeng Malang Menolak Lupa secara visual dapat melukiskan bagaimana kesenian topeng itu bergerak. Baik melalui jejak-jejaknya dan jurus-jurusnya, bagaimana kesenian Topeng hadir, tumbuh, berkembang dan mulai dilupakan.
“Bahwa film yang kami putar ini adalah film pertama dari 3 film yang kami rencanakan. Dalam film perdana ini kami ingin memberikan gambaran jejak-jejak Tari Topeng di Malang yang saat ini perlahan sudah mulai redup,” ungkap Yosoft pada acara Jagongan Bareng serta pemutaran film Topeng Malang Menolak Punah di Rumah Budaya Ratna Jalan Diponegoro No 3 Kota Malang. Sabtu malam (28/9/2024).
Sutradara senior tersebut menyampaikan jika untuk film kedua bercerita tentang militansi seniman topeng bagaimana bisa hidup.
“Sedangkan untuk film ketiga kami akan mengangkat Relief Kunjarakarna di Candi Jago menjadi film layar lebar” ungkap Yosoft.
Hal senada, disampaikan Polenk selaku sutradara. Ia menuturkan bahwa pihaknya sengaja ingin menampilkan kesenian Topeng Malang yang mulai kembang kempis.
“Proses pembuatan film ini murni tanpa pembiayaan dari siapapun. Kami ingin mendokumentasikan kantong-kantong topeng yang sudah mulai sirna dan hilang. Di sini, saya dibantu Mas Yosoft ahlinya film dokumenter. Untuk proses pembuatan memakan waktu sekitar 4 bulan,” beber Polenk.
Baginya, dunia seni topeng adalah hal baru. Namun, karena keprihatinannya dan panggilan jiwa menolak punah Topeng Malangan. Ia rela walau harus terjun ke kantong-kantong topeng diantaranya Polowijen, Jabung, Tumpang, Glagahdowo Kranggan, Pijiombo sampai Jambu Wer.
Di tempat yang sama, pelaku seni dan budaya Nasai merasa bersyukur dipertemukan dengan Polenk dan Yosoft. Pasalnya apa yang diimpikannya dapat terwujud.
“Saya berterimakasih dipertemukan dengan Mas Poleng dan Mas Yosoft hingga berinisiatif untuk membuat film dokumenter ini dengan tujuan menolak punah. Budaya kita adalah benteng terakhir dari ketahanan bangsa karena adanya globalisasi,” jelas Nasai.
Kecintaannya pada seni budaya utamanya topeng membuat pria yang pernah menjadi jurnalis ini tidak segan mengajak teman sejawat untuk mempublikasikan tentang Topeng Malang. “Saya ingin menghidupkan Tari Topeng Malangan. Salah satunya saya gaungkan melalui narasi. Dengan adanya literasi tentang Topeng Malang, saya berharap ada regenerasi,” ujarnya.
Dirinya tak mengelak bukan hanya Topeng Malang yang akan punah bila tidak ada regenerasi. “Dari kearifan lokal, ritus hingga pengetahuan tradisional dalam topeng seperti ragam gerak topeng, pakem cerita, wayang topeng serta ragam pernik rapek lantaran lama tidak digunakan. Penutur maupun ahlinya sudah banyak yang meninggal,” beber Nasai.
Diakuinya, semenjak pakem wayang topeng yang durasinya 7 jam diringkas menjadi 1 jam banyak yang dihilangkan atau tidak dipakai. “Akhirnya, generasi saat ini tidak mengetahui aslinya,” tegas Nasai.
Penulis : Yani
Editor : Dadang D