PENDOPOSATU.ID, MALANG – Kota Malang yang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) begitu tinggi, tentunya mempunyai kebudayaan dan kearifan lokal mulai dari seni, musik, tarian hingga kuliner yang terus terjaga hingga saat ini.
Namun, patut disayangkan ternyata Kota Malang masih belum memiliki Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Untuk itu, Isa Wahyudi salah satu budayawan Kota Malang menggagas Rembug Kebudayaan Kota Malang yang rencananya akan diadakan di 8 lokasi hingga Desember 2024 mendatang.
Sebagai pioner, dirinya memulai Rembug Kebudayaan di Sekolah Budaya Tunggulwulung (SBT) yang berlokasi di Jalan Sasando No 9 Kota Malang dengan mengusung tema Apa Kabar Kebudayaan Kota Malang, pada Jumat (13/9/2024) malam.
Pria yang akrab disapa Ki Demang tersebut mengatakan bahwa seniman dan budayawan butuh tempat, wahana atau forum yang menyampaikan segala macam kritik, persoalan-persoalan yang dihadapi kaitannya tentang budaya secara keseluruhan.
“Melalui Rembug Kebudayaan ini dikupas pembahasan yang berorientasi pada karya. Karya apa yang harus dilestarikan dan dikembangkan,” tuturnya.
Menurut anggota Tim Ahli Cagar Budaya tersebut, Kota Malang memiliki banyak karya. Hanya karya-karya itu masih minim dari perhatian.
“Salah satunya adalah Kota Malang masih minus WBTB. Ini kan problem, sementara daerah lain sudah punya WBTB, sebagai suatu kebanggaan terhadap warisan budaya,” jelasnya.
Dikatakannya, melalui kegiatan ini para budayawan berupaya, mengevaluasi dan menelusuri kenapa Kota Malang tidak punya WBTB sama sekali.
“Pernah mengajukan Boso Walikan itu ditangguhkan. Ada apa, kesalahannya dimana. Ini menjadi pemicu forum ini diadakan,” beber Ki Demang.
Menurut Ketua Forkom Pokdarwis Kota Malang ini, hal-hal yang menjadi WBTB harus diajukan sebagai WBTB jika memang konsisten dilakukan.
“Katanya Kota Malang menjadi pilot project di Indonesia. 10 Kota di Indonesia yang terpilih untuk menyusun PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah). Tetapi, Kota Malang tidak punya WBTB. Ini kan ironi,” ucap Ki Demang.
Baginya, jika Kota Malang memiliki WBTB, maka ekosistem tentang kebudayaan terbentuk.
“Potensi tentang ekonomi, kepariwisataan dan kebudayaan itu akan muncul apabila sudah ada WBTB. Salah satunya adalah tarian. Bukan hanya tarian bisa juga kuliner atau tembang Macapat Malangan. Itu semua adalah potensi,” terangnya.
Jika di Kota dan Kabupaten memiliki kebudayaan yang sama, lalu diajukan sebagai WBTB. Bukanlah suatu persoalan.
“Kebudayaan itu kan lintas, tidak ada batas teritorial antara Kabupaten dan Kota. Adanya Gemeente itu kan baru saja. Namun ketika kesenian kebudayaan itu sudah ada dan terbangun sejak masa Kadipaten dulu. Apabila kesenian antara kota dan kabupaten berkembang. Itu warisan bersama,” ujar Ki Demang.
Ia mencontohkan Kethek Ogleng Pacitan diajukan sebagai WBTB. Kemudian, dalam waktu bersamaan Kethek Ogleng Wonogiri juga mengajukan WBTB. “Disetujui semua karena memang kebudayaan itu tidak mengenal zona,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya menggelar Rembug Kebudayaan lantaran dipicu keresahan Kota Malang tidak memiliki WBTB.
Keterbatasan forum-forum yang serius menggarap tentang oto kritik terhadap kebudayaan di Kota Malang kan penting. WBTB tidak ada, Jika WBTB ada mampu menggerakkan ekosistem dalam berkesenian.
“Malang itu kaya, maka harus digali terus. Meskipun sudah ada PPKD, namun jika tidak digarap maka PPKD itu hanya berbentuk sebagai dokumen semata. Perlu adanya komunikasi untuk mendukung pelestarian kebudayaan,” tutur pegiat Kampung Budaya Polowijen tersebut.
Diadakannya diskusi keliling, sebagai bentuk membangun komunitas. “Rembug Kebudayaan ini menjadi forum milik bersama dengan temanya lebih ke yang tradisional,” tukasnya.
Sementara, pemangku Sekolah Budaya Tunggulwulung Kholik Nuriadi menyampaikan bahwa tujuan diadakan Rembug Budaya adalah untuk memfasilitasi pokok-pokok pikiran para penggiat budaya dan seniman. “Dengan berkumpul, ada pikiran-pikiran yang keluar bagaimana membangun Kota Malang dengan karakteristiknya,” tutur Kholik.
“Dari hasil pemikiran tersebut, kami berharap bisa dijadikan sebuah pijakan dalam pengambilan keputusan oleh pihak terkait demi kemajuan Kota Malang,” imbuhnya.
Selain itu, dirinya juga berharap agar para budayawan dan seniman Kota Malang bersatu untuk menyamakan persepsi tentang kemajuan Kota Malang lewat pintu seni dan budaya.
Gelaran Rembug Kebudayaan tersebut diisi dengan Sinau Aksara Jawa oleh Hendrik Reksa, Sinau Mocopat Malangan dengan narasumber Mbah Wito dan acara inti adalah Rembug Kebudayaan yang disampaikan sejarawan Kota Malang Dwi Cahyono serta suguhan tarian tradisional khas Malang.
Penulis : Yani
Editor : Dadang D