Oleh: Damanhury Jab
(Ketua DPC GRIB JAYA Malang)
PENDOPOSATU.ID, Malang – Dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik merupakan salah satu pilar penting yang menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan bahwa kepemimpinan tetap berpihak pada rakyat.
Sayangnya, tidak semua pemimpin mampu menerima kritik dengan lapang dada. Salah satu contohnya adalah seorang Bupati yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena sikap anti-kritiknya dan pernyataan menghina yang dilontarkan kepada masyarakatnya dengan sebutan “Telat Mikir.”
Bupati yang bijak seharusnya memahami bahwa kritik dari masyarakat dan oposisi bukanlah serangan pribadi, melainkan bentuk kepedulian terhadap kinerja pemerintahannya. Kritik yang konstruktif adalah salah satu cara masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, keprihatinan, dan harapan mereka.
Sebaliknya, mengabaikan atau bahkan menghina kritik tersebut menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidakmampuan dalam memimpin.
Pernyataan Bupati yang menyebut masyarakatnya “Telat Mikir” bukan hanya tidak etis, tetapi juga mencerminkan arogansi kekuasaan. Pernyataan semacam ini tidak hanya melukai perasaan masyarakat, tetapi juga merendahkan kecerdasan dan kontribusi mereka terhadap pembangunan daerah.
Padahal, masyarakat adalah pihak yang memberikan mandat dan legitimasi kepada Bupati untuk memimpin. Oleh karena itu, setiap penghinaan terhadap masyarakat adalah penghinaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Sikap anti-kritik yang ditunjukkan oleh Bupati tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keberlangsungan demokrasi di tingkat lokal.
Kepemimpinan yang menolak kritik cenderung otoriter dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini dapat berujung pada kebijakan-kebijakan yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Dalam jangka panjang, masyarakat yang merasa tidak didengar akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan sosial dan politik.
Seorang pemimpin yang baik seharusnya memiliki kemampuan untuk mendengarkan berbagai masukan, termasuk kritik. Dalam kritik tersebut sering kali tersimpan solusi dan inovasi yang dapat membawa perubahan positif.
Kepemimpinan yang inklusif dan responsif terhadap kritik menunjukkan kedewasaan politik dan komitmen terhadap pelayanan publik.
Untuk membangun budaya demokrasi yang sehat, diperlukan komitmen dari semua pihak, termasuk pemimpin daerah, untuk menghormati kebebasan berpendapat dan bersikap terbuka terhadap kritik.
Masyarakat juga harus terus berpartisipasi aktif dalam mengawasi kinerja pemerintah dan menyuarakan aspirasi mereka secara damai dan konstruktif.
Sebagai penutup, Bupati yang telah menghina masyarakatnya dengan sebutan “Telat Mikir” seharusnya segera meminta maaf secara terbuka dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki sikapnya.
Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang bersedia belajar dari kritik, bukan yang merendahkan kritik tersebut. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi lokal tetap kuat dan memberikan manfaat nyata bagi seluruh masyarakat.
Penulis : Redaksi