PENDOPOSATU.ID, KOTA MALANG – Semangat gotong royong dalam dunia pendidikan bisa tercoreng oleh praktik pungutan dana yang dilakukan oleh paguyuban sekolah di Malang. Banyak orang tua murid yang sebenarnya merasa tercekik namun memilih bungkam, khawatir anak mereka menjadi korban diskriminasi atau dikucilkan.
Pungutan oleh oknum paguyuban ini tak jarang ditagih secara agresif, bahkan pada momen sensitif seperti saat penerimaan rapor dan mirisnya, penagihan ini bahkan terjadi di tengah duka mendalam, si anak yang masih SD tetap ditagih uang paguyupan saat ia baru saja kehilangan orang tua-nya.
Seperti yang diketahui, pada awalnya, paguyuban sekolah dibentuk dengan tujuan mulia. Namun, kini praktik ini mulai berubah dan dituding sebagai “reinkarnasi SPP era Orde Baru” yang dilegalkan atas nama kesepakatan orang tua wali murid dengan oknum paguyuban sebagai penagihnya setiap bulan.
Praktik ini, oleh sebagian pihak disebut sebagai modus pungutan liar terselubung, dan menyoroti urgensi peninjauan ulang peran paguyuban dan komite sekolah, serta tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan operasional sekolah.
Lili Ulifah, Ketua Gubuke Wong Ngalam (GWN), mengakui adanya dwifungsi pungutan oleh paguyuban. Menurutnya, pungutan bisa menjadi positif bila bertujuan mencari solusi pendanaan di luar beban langsung orang tua, misalnya melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Ia menampik anggapan bahwa praktik ini menandakan kegagalan pemerintah dalam alokasi dana BOS, melainkan lebih kepada peruntukan yang belum maksimal.
Lili menyerukan kolaborasi semua pemangku kepentingan, pemerintah, sekolah, dan orang tua. Solusi yang ditawarkan salah satunya adalah pengajuan CSR ke perusahaan atau bantuan sukarela dari wali murid yang mampu secara finansial, untuk menghindari pungutan kontinu yang memberatkan.
“Sejatinya pendidikan adalah tanggung jawab bersama demi mewujudkan masyarakat yang cerdas,” tegas Ulifah.
Namun begitu, pandangan kritis dilontarkan Asep Suriaman, Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (PuSDeK). Ia menyayangkan bagaimana paguyuban, yang seharusnya menjadi wadah kontrol sosial dan penjembatan kesenjangan, kini “bermetamorfosis menjadi pintu masuk pungutan” dan mencoreng wajah pendidikan.
“Paguyuban di sejumlah sekolah beberapa tahun terakhir bermetamorfosis menjadi pintu pungutan dan akhirnya mencoreng kembali wajah pendidikan yang fitrahnya seharusnya menjadi sumber nilai kejujuran, etika, keadilan, dan kebajikan,” ujar Asep.
Lebih lanjut, Asep membeberkan berbagai modus pungutan, yang justru dimulai dari inisiatif paguyuban sendiri hingga permintaan sekolah untuk beragam fasilitas yang akhirnya menjadi tradisi wajib.
“Fasilitas yang diminta mulai dari ruang belajar, tempat ibadah, pembelian LKS, kalender, seragam, biaya perpisahan mewah, hingga sumbangan untuk guru,” bebernya.
Asep dalam hal ini mendesak adanya ketegasan dari sekolah dan dinas pendidikan untuk tidak “patgulipat” atau “tutup mata” terhadap praktik ini.
“Para wakil rakyat pun jangan acuh, jangan jadikan pendidikan sebagai tempat ketidakjujuran, ketidakadilan, dan menerima sesuatu yang haram,” tegasnya. Ia berjanji akan mengawal ketat tahun ajaran baru 2025/2026 untuk mencegah pungutan liar (pungli).
Ia secara tegas menyatakan bahwa paguyuban dalam konteks pungutan dana pengembangan sekolah adalah “lembaga ilegal” dan harus dihentikan.
Terpisah, Sudarno, Ketua Pengaduan Publik Malang Raya, meluruskan pemahaman terkait paguyuban dan komite sekolah yang sering disalahartikan.
Menurutnya paguyuban adalah media komunikasi internal orang tua siswa yang kegiatannya tidak wajib dan tidak masuk struktur pendidikan. Karena yang memiliki legalitas adalah komite sekolah, sebagai jembatan antara sekolah dan orang tua.
“Paguyuban ini tidak masuk ke ranah struktur pendidikan, yang masuk struktur pendidikan di sekolah itu adalah Komite sekolah,” terangnya.
Sudarno menyatakan bahwa sesuai regulasi pemerintah yang diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, komite sekolah diperbolehkan menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat secara kreatif dan inovatif.
Namun, ia menegaskan dalam Permendikbud tersebut, komite sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun kepada peserta didik atau orang tua/wali.
“Regulasi yang ada di Pemerintah, Permen-nya itu tidak boleh Komite sekolah itu untuk memungut dari orang tua siswa atau wali, tetapi diperbolehkan untuk menerima dan mengelola sumbangan,” terangnya.
Sebelumnya, Sudarno juga menyoroti modus baru, yaitu penggunaan paguyuban sebagai alat sekolah untuk menggelar acara purna wiyata (kelulusan) dengan biaya tinggi, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
“Modus ini, tahun depan akan kita antisipasi jangan sampai kelulusan ini dengan biaya yang tinggi tidak ada perspektif untuk menunjang pendidikan anak-anak dijadikan alat,” pungkas Sudarno.
Pro kontra pungutan dana oleh paguyupan sekolah yang menjadi polemik ini diharapkan membuka ruang diskusi yang luas, bagaimana menyeimbangkan semangat gotong royong dalam memajukan pendidikan.
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang diamanatkan dan tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan ini merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, unggul, dan berdaya saing.
Dan yang tak kalah penting adalah pertanyaan, sejauh mana pemerintah mampu memastikan kebutuhan operasional sekolah terpenuhi tanpa membebani orang tua siswa pertanyaan-pertanyaan krusial yang harus dijawab bersama demi masa depan pendidikan yang lebih jujur dan berkeadilan.
Penulis : Gus
Editor : Redaksi